Pohon Sintetis Lindungi Bumi Dari Dampak Perubahan Iklim


Bentuknya tak jauh beda dari raket lalat raksasa. Membayangkannya berdiri berderet-deret di tepian jalan, pohon-pohon sintetis itu adalah solusi paling menjanjikan di antara teknik-teknik rekayasa bumi (geo-engineering) yang bisa menghadang dampak perubahan iklim yang sudah bagai di ambang pintu.

Pohon sintetis itu menjelma menjadi solusi paling praktis dan efektif untuk bisa segera diwujudkan ketimbang banyak teknik lainnya, mulai mengirim cermin ke antariksa demi merefleksikan radiasi matahari yang datang hingga menebar zat besi ke samudra, yang bisa memacu pertumbuhan alga--satu sumber penyerap karbon dari atmosfer.

Pembuatan unit alat seukuran peti kemas di pelabuhan itu dinilai rendah karbon (cuma 5 persen dari total yang bisa diserapnya dari atmosfer) dan cukup bermodal teknologi yang sudah tersedia. "Pohon ini ribuan kali lebih efektif dalam hal penyerapan karbon dari atmosfer ketimbang pohon sungguhan dalam luas area yang sama," kata Tim Fox, Direktur Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim di Institute of Mechanical Engineers (IME) di Inggris.

Sehari setelah bekas Deputi Perdana Menteri dan Menteri Lingkungan Inggris, John Prescott, memperingatkan bahwa negosiasi menuju kesepakatan global untuk pemangkasan emisi karbon terancam gagal, IME merekomendasikan beberapa teknik penangkal laju dampak perubahan iklim yang bisa digunakan sebagai "pengganjal" sambil menunggu tercapainya kesepakatan.

Pohon sintetis buah invensi Profesor Klaus Lackner dari Columbia University di New York, Amerika Serikat, itu muncul di urutan teratas bersama teknik alga dalam pot tabung di dinding-dinding gedung. Studi IME selama 12 bulan sebelumnya itu juga menemukan bahwa mengecat putih seluruh atap bangunan kota bisa menjadi teknik sederhana namun efektif untuk menolak cekaman pemanasan global.

Sebagai primadona dari teknik geo-engineering lainnya, IME melaporkan bahwa 100 ribu batang pohon ciptaan Lackner--yang setara dengan luasan 600 hektare--sudah cukup untuk menjerat seluruh emisi karbon dari rumah tangga, transportasi, dan industri kecil di Inggris. Itu artinya 60 persen dari total 556 megaton CO2 per tahun yang dibuang Inggris.

Untuk kebutuhan yang sama tapi dengan skala dunia, IME menghitung, diperlukan 5-10 juta pohon. Dengan catatan, emisi C02 belum yang termasuk dari pembangkit-pembangkit listrik.

Fox mengungkapkan, prototipe pohon sintetis sudah dibuktikan oleh inventornya, Lackner, mampu mengisolasi CO2 hanya dengan asupan energi yang rendah. "Teknologi ini tidak lebih rumit daripada yang ada di mobil ataupun unit penyejuk udara," ujar Fox.

Pohon-pohon seharga US$ 20 ribu per batang itu memang idealnya "ditanam" dalam sebuah hutan sintetis, mendapat pasokan energi dari sumber-sumber yang terbarukan, dan berlokasi dekat bekas lapangan minyak atau gas untuk penyimpanan karbon tangkapannya. Namun, para insinyur di IME juga menganggap logis apabila pohon ditanam di sepanjang tepi jalan tol karena bisa langsung menangkap emisi karbon dari sumbernya yang tergolong besar, yakni lalu lintas.

Dalam laporannya yang dirilis kemarin, IME menyeru kepada pemerintah Inggris agar menyisihkan anggaran 10 juta pound sterling khusus untuk merealisasi ketiga rekomendasinya itu. Terlebih setelah Prescott mengungkap kans tercapainya kesepakatan di Kopenhagen, Denmark, akhir tahun ini, yang bakal 10 kali lebih sulit ketimbang kesepakatan di Kyoto 12 tahun lalu, Fox mengingatkan peran penting geo-engineering.

Teknik itu memang bukan silver bullet untuk permasalahan yang muncul gara-gara perubahan iklim, disebutkannya bisa mengulur waktu. "Kami tidak menyarankan geo-engineering sebagai pengganti upaya mitigasi, tapi ia tidak bisa lagi dianggap sebagai rencana alternatif," kata Fox, yang memimpin studi. "Geo-engineering mestinya bisa diimplementasikan beriringan bersama mitigasi dan adaptasi. Terintegrasi."

sumber

Blog Archive